Rupiah mulai tertekan oleh sentimen risk off yang masih dominan di pasar ekuitas dan mata uang emerging yang terus melemah. Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menyoroti bahwa penurunan nilai tukar rupiah dipicu oleh pernyataan Menteri Perdagangan Amerika Serikat, Howard Lutnick, yang menegaskan bahwa penerapan tarif resiprokal AS tidak akan diundur. Pada penutupan perdagangan hari ini di Jakarta, rupiah melemah sebesar 169 poin atau 1,01 persen menjadi Rp16.822 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.653 per dolar AS.
Lukman Leong menyampaikan bahwa sentimen risk off yang kuat ini dipicu oleh pernyataan Mendag AS terkait tidak akan diundurnya tarif, yang juga merupakan bagian dari kebijakan Presiden AS, Donald Trump, untuk menaikkan tarif impor ke banyak negara, termasuk Indonesia. Indonesia sendiri berada di urutan kedelapan dalam daftar negara yang terkena kenaikan tarif AS, dengan besaran 32 persen. Negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand juga menghadapi kenaikan tarif yang signifikan.
Presiden Trump memperjuangkan kebijakan tarif untuk memperluas lapangan kerja di dalam negeri, sesuai dengan pandangan bahwa AS telah merugi karena praktik perdagangan yang dianggap tidak adil. Tindakan pemerintah AS dalam hal tarif menjadikan China sebagai fokus utama, dengan tarif tambahan yang diberlakukan oleh kedua negara sebagai respons terhadap langkah-langkah sebelumnya.
Tekanan pada nilai tukar rupiah diprediksi akan berlanjut selama ketegangan perdagangan internasional belum reda. Bank Indonesia diharapkan terus melakukan intervensi untuk menjaga nilai tukar rupiah agar tidak jauh dari Rp17 ribu. Kondisi ini menunjukkan bahwa stabilitas mata uang domestik akan terus dipantau dalam konteks ketidakpastian global yang meluas.








