Dalam upaya menjaga hubungan dagang yang saling menguntungkan antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS), Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyarankan perlunya evaluasi terhadap kebijakan perdagangan yang dianggap proteksionis. Presiden AS, Donald Trump, telah menyebut Indonesia sebagai salah satu dari 58 negara yang menerapkan kebijakan penghambat perdagangan terhadap AS. Beberapa kebijakan dan regulasi di Indonesia yang menjadi sorotan AS antara lain terkait tarif, nontarif, dan kebijakan investasi. Perlu adanya evaluasi terhadap kebijakan tarif Indonesia yang dinilai proteksionis, disertai dengan peningkatan transparansi dalam perizinan impor. Begitu juga dengan aturan teknis dan kebijakan perdagangan lainnya yang harus sesuai dengan standar internasional.
AS secara khusus menyoroti kebijakan tarif Indonesia yang cenderung meningkat, terutama untuk produk-produk yang bersaing langsung dengan barang produksi lokal. Selain tarif, kebijakan nontarif juga menjadi perhatian AS, terutama terkait sistem perizinan impor yang dianggap kompleks. Pembatasan impor terhadap produk-produk penting seperti gula, beras, dan daging juga menjadi dampak bagi eksportir AS. Implementasi aturan halal dan kepemilikan saham dalam sektor jasa keuangan juga menjadi hambatan bagi eksportir AS ke Indonesia.
Josua menekankan bahwa hambatan-hambatan perdagangan tersebut dapat berdampak negatif terhadap hubungan dagang antara Indonesia dan AS. Langkah-langkah balasan yang mungkin dilakukan AS berpotensi memperlambat ekspor Indonesia ke AS. Oleh karena itu, pendekatan dialog melalui kerangka Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) perlu ditingkatkan untuk mengatasi masalah tersebut secara konstruktif. Evaluasi kebijakan perdagangan yang transparan dan mematuhi standar internasional diharapkan dapat menjaga hubungan dagang yang harmonis antara kedua negara.








